Kerja Sama Indonesia-Jepang Perlu Dievaluasi
Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty dalam rapat kerja antara Komisi VI DPR RI dengan Menteri Perdagangan di Ruang Rapat Komisi VI DPR RI, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Jumat (31/1/2020). Foto : Andri/Man
Rencana penandatanganan kerja sama Indonesia dengan Jepang di bidang ekonomi dalam Kemitraan Ekonomi Menyeluruh Antar Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Jepang dinilai perlu dievaluasi ulang. Terutama dalam urusan hambatan non-tarif seperti standardisasi produk.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty dalam rapat kerja antara Komisi VI DPR RI dengan Menteri Perdagangan membahas hal-hal strategis menyangkut perjanjian kerja sama perdagangan Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara dan Jepang, di Ruang Rapat Komisi VI DPR RI, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Jumat (31/1/2020).
“Itu karena produk kita mutunya tidak bisa diterima di Jepang. Karena SNI (Standar Nasional Indonesia) kita dinilai tidak ISO (International Standard of Organization). Jepang menerapkan ISO standar. Kita menerapkan SNI dengan standar kita. Barang kita kepentok untuk dikirim ke Jepang. Jepang? Wah terbang bebas produknya masuk ke negara kita,” ucapnya.
Menurut politisi Fraksi PDI Perjuangan itu, hal tersebut harus jadi pertimbangan bagi Menteri Perdagangan sebelum melakukan perjanjian kerja sama perdagangan dengan negara manapun. Sebab jika tidak dilakukan evaluasi oleh Kementerian Perdagangan, maka akan terus merugikan masyarakat Indonesia, terutama pelaku usaha yang ingin mencoba go international.
“Standar yang mereka (Jepang) pakai itu sudah ISO. Ini kalau tidak dievaluasi kembali, apapun yang ditanda tangani Kemendag dengan negara luar itu hanya akan menguntungkan mereka saja. Kita jadi market, tapi kita tetap saja punya masalah ketika nanti kita ekspor ke luar,” jelasnya Politisi dapi Jawa Tengah IV tersebut.
Evita pun menyarankan agar sebaiknya di dalam setiap perjanjian kerja sama perdagangan Indonesia dengan internasional, harus ada perjanjian turunan kepada Badan Standardisasi Nasional (BSN). “Harusnya BSN kita dengan BSN Jepang itu resiprokal. Standar kita diterima di sana, standar mereka diterima di sini. Ada juga perjanjian yang dibuat BSN mereka dengan BSN kita,” tukasnya. (er/sf)